Tuesday, May 27, 2014

Musik Tidak Punah

     Bunyi alur musik dari dalam rumah tua di tengah hutan terdengar dengan jelas. Cuaca yang sempurna. Hujan deras di malam hari. Angin berdesir dengan semangat, meniup daun-daun yang rapuh. Hujan membanjiri halaman di depan rumah. Lampu rumah pun terlihat bersinar terang-benderang dari keajuhan.
    
    Musik itu pun mengalir dengan seru. Tetapi bukan sekedar satu instumental saja. Satu orchestra penuh. Biola, biola alto, cello, bass, grand piano, dan insturmen lain-lain yang kalian semua tahu.
   
     Satu hal yang menyeramkan. Tidak ada penghuni di rumah ini. Bisa kalian tebak? Hantu? Bukan. Musik itulah yang memainkannya sendiri. Alat-alat musik ini menjadi hidup ke kehidupan nyata.. aneh.
     
    Mereka memiliki jiwa yang abadi, kekal, dan baka. Mereka tidak mengenal kata “mati” dalam hidup mereka masing-masing. Mereka tidak lapar, maupun haus. Namun masing-masing dari mereka memiliki perasaan. Lewat perasaan itu lah, mereka dapat membuka pintu gerbang menuju jalan yang bernama “Imaginasi”.
      
      Tidak peduli pagi, siang, malam, maupun subuh, mereka tetap akan memainkan musiknya. Solo, duo, trio, quartet, atau ensembel, mereka tetap menjalankan hidup mereka sebagai musik.
    
      Sinar fajar di pagi hari menyemangati mereka untuk berlatih, mengasah kemampuan mereka masing-masing. Suara siulan burung di pagi hari ikut terjun ke dalam danau lagu. Sorotan surya yang terik pada siang hari menantang mereka untuk tidak berhenti, karena masih ada sore dan malam. Terbenamnya matahri di sore hari mengantar mereka ke tumpukan bunga yang bertebaran di atas rumput hijau yang nyaman. Membuat mereka bermain lebih halus daripada pagi dan siang. Terang rembulan menyorot rumah indah itu dengan lembut. Pada malam yang indah, ditemani oleh ratusan bintang-bintang yang setia berbinar-binar pada langit jernih di malam hari. Mengantarkan makhluk hidup di sekitar mereka untuk beristirahat. Memainkan lagu pengantar tidur dengan seksama, merdu, dan indah.
     
      Cuaca pada hari itu sangat sangat ekstrem. Terik. Para instrumen pun tidak berhenti memainkan musik mereka. Bukan main, sorotan matahari siang bolong sangat panas. Insting. Makhluk yang di sekitarnya cepat-cepat melarikan dirim dari hutan yang panas itu. Berusaha menyelamatkan diri dari malapetaka yang akan terjadi.  Rumput mulai terbakar. Api rumput itu menjalar, menaiki pohon, membakar daun-daun yang malang. Batang pohon itu tidak sanggup menahan api merah yang menggerogotinya. Pohon tak berdaya itu pun runtuh. Mengakibatkan api melesat ke mana-mana. Termasuk ke rumah tua itu. Para alat musik tidak sadar bahwa kehancuran sudah berada di depan mata mereka. Kandil megah itu menimpa grand piano. Bunyi mengerikan itu menyahut keluar dari piano itu, seperti kata-kata terakhrinya. Api itu menybar ke seluruh bagian rumah. Semua alat musik itu menangis, menyahut-nyahut, meminta pertolongan. Mereka tak berdaya. Api itu menghabisi mereka dalam sekejap. Beberapa jam kemudian, rumah tua itu sudah tidak ada. Hangus menjadi abu.
       
        Tetapi, itu tidak mengartikan bahwa musik telah menghilang, meninggalkan dunia selamanya. Musik berada di mana pun kalian berada. Bunyi ombak di pinggir pantai adalah musik. Suara detik jam adalah musik. Klakson kendaraan, sirene, suara langkah, bunyi mesin pendingin, maupun tangisan orang. Sebenarnya, masih ada banyak lagi. Sekali lagi, musik ada di sekitarmu. Yang perlu kalian lakukan adalah mendengarkan mereka dengan seksama, mempersilahkan mereka masuk ke dalam kepala kalian,  dan menikmati mereka.

The End